Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo Hadir Secara Daring pada Diskusi Publik VIII GERAKAN PEMBUMIAN PANCASILA di Semarang

Semarang, 1 Oktober 2022- Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hadir memberikan Opening Speech secara daring pada Diskusi Publik VIII Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pembumian Pancasila yang dilaksanakan di Gedung Juang 45 Semarang, Sabtu (1/10).

Kepada para peserta diskusi publik VII Ganjar Pranowo menekankan “Pancasila harus menjadi leitstar dinamis sehingga menjadi bintang penerang yang dinamis dan tidak hanya berkutat pada sikap yang statis, tapi dinamis menghadapi semua perkembangan jaman yang ada.” Ujar Gubernur Jawa Tengah ini.

Lebih lanjut Ganjar mengatakan “Gerakan Pembumian Pancasila hari ini merupakan organisasi yang begitu dibutuhkan, Saya pernah berbincang dengan seorang teman Kalau kita meyakini Pancasila sesungguhnyq sebagai pandangan hidup bangsa namun kita masih belum optimal melaksanakannya dan memberikan contoh, bahkan sosialisasi masih kepada masyarakat masih terbatas’.

Oleh karenanya dalam pembumian Pancasila perlu dilakukan program kegiatan yang inovatif dan kreatif secara digital terutama pada generasi muda.

Diskusi Publik VIII DPP GPP kali ini mengusung Tema: “Membangun Kepemimpinan Pancasila, Solusi Mengatasi Kompleksitas Permasalahan Bangsa” dan Sub Tema: “Urgensi Kepala Negara Untuk Meluruskan Sejarah dengan Pencabutan Keppres No.153/1967 Tentang Kesaktian Pancasila”.

Guntur Sukarno anak Proklamator  sekaligus anak ideologis Bung Karno hadir sebagai tamu undangan khusus untuk memberikan refleksi. Ketua Umum DPP GPP Dr. Antonius D. R Manurung, M. Si hadir sebagai Keynote Speaker, dan Narasumber  masing-masing; Prof.Dr.Asvi Warman Adam, APU (Peneliti Utama LIPI dan Sejarawan), Dr. Gunawan Djayaputra, S.H, S.S, M.H., Bendahara Umum DPP GPP, Dr. Abdy Yuhana, S.H, M.H., Sekretaris Jenderal DPP PA GMNI; Penanggap Dr. Bondan Kanumoyoso, M. Hum Sekjen DPP GPP, Welcome Speech Hj. Titin Redjeki Soebeno, Pembaharu DPD GPP Jateng, Ketua Perhimpunan Wanita Budaya, serta Moderator Aby Maulana Sudibyo.

Berikut Release berita yang disampaikan DPP GPP untuk diekspose ke publik terkait dengan diskusi publik VIII. Dalam sejarah Indonesia apa yang terjadi pada 30 September dan keesokan harinya 1 Oktober 1965 menjadi pusaran kontroversi yang belum terselesaikan sampai saat ini. Untuk jangka 32 tahun, pemerintahan di bawah rezim Soeharto (1966-1998) mendominasi penafsiran terhadap peristiwa yang terjadi pada hari-hari yang krusial tersebut. Pemaknaan yang diberikan oleh rezim Soeharto terkait erat dengan ‘kelanggengan’ dan legitimasi kekuasaan yang ingin ditegakkan. Klaim bahwa peristiwa di malam hari 30 September 1965 sebagai upaya Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah di bawah pemerintahan Sukarno menjadi pembenaran untuk melakukan penghancuran terhadap PKI dan kekuatan kiri di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan kekuatan kiri bukan hanya orang-orang komunis, tetapi juga kaum nasionalis kiri yang setia terhadap Republik Indonesia serta legacy berupa ajaran dan pemikiran Sukarno (Putra Sang Fajar, Bapak Marhaenisme, Pemimpin Besar Revolusi, Penggali Pancasila, Founding Father, Proklamator, Presiden RI Pertama, Bapak Pandu Indonesia, dan Bapak Bangsa).

Pada tanggal 17 September 1966 (Kep.977/9/1966) Menteri/Panglima Angkatan
Darat Jenderal TNI Soeharto menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian
Pancasila – peringatan keberhasilan Soeharto menggagalkan upaya kudeta 1965. Selanjutnya
Kep 977/9/1966 dikuatkan dengan Keputusan Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan Jenderal Soeharto (Kep/B/134/1966) tertanggal 29 September 1966 yang
memerintahkan agar hari itu diperingati oleh seluruh seluruh Angkatan Bersenjata dengan mengikutsertakan massa rakyat. Pemunculan stigma negatif tentang PKI dan Sukarno menjadi mantra yang terus diulang oleh pemerintahan rezim Soeharto dalam setiap peringatan 30 September 1965, yang disebut sebagai G-30-S/PKI. Penyebutan nama PKI di belakang G-30-S menjadi hal yang wajib untuk mempertegas bahwa peristiwa di malam 30 September yang pada intinya adalah gerakan penculikan para jenderal Angkatan Darat dilakukan oleh PKI. Nama Sukarno disangkutpautkan dengan peristiwa tersebut karena Sukarno adalah tokoh yang mengusung gagasan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Tidak ada upaya yang kritis untuk melihat bahwa apa yang dianjurkan oleh Sukarno adalah sebuah front persatuan dan bukan suatu dukungan eksplisit terhadap kekuatan komunis di Indonesia.

Mari kita camkan dan renungkan kembali amanah Bung Karno pada tanggal 16 Oktober 1965, pada saat Presiden Sukarno mengangkat Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Hal ini diputuskan berdasarkan saran-saran dari beberapa penasihatnya. Kutipan amanat Presiden Sukarno yang diberikan kepada Soeharto pada saat pelantikan berlangsung yakni: “… Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Manipol -USDEK. Manipol-USDEK telah ditemukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan Negara Republik Indonesia…”

 

“… Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada Negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Agkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revolusi kita bisa jaya. Soeharto, sebagai Panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik -baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!…”

Ternyata, amanah Presiden Sukarno di atas sama sekali tidak dipatuhi dan dijalankan oleh Mayjen Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, bahkan sebaliknya Soeharto melakukan upaya DE-SUKARNOISASI secara terstruktur, sistematis, dan masiv.

Mari kita sadari dan pahami kembali bahwa Sukarno adalah pemikir dan sekaligus
Bapak Bangsa yang telah lama memikirkan tentang berbagai kekuatan politik di Indonesia yang secara konsisten menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam merumuskan kekuatan- kekuatan utama itu Sukarno sampai pada pemikiran adanya tiga kekuatan utama, diawali dengan “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926). Gagasan awal tentang tiga kekuatan utama yang hidup dalam masyarakat Indonesia ini telah dikemukakannya sejak masa Pergerakan Nasional, yaitu pada tahun 1927. Sukarno adalah seorang yang konsisten dengan garis perjuangannya. Apa yang menjadi cita-cita dalam perjuangannya adalah Persatuan Indonesia. Hanya dengan persatuan Bangsa Indonesia dapat mengakhiri kolonialisme dan imperialisme, dan hanya dengan persatuan pula cita-cita bangsa seperti apa yang tercantum di dalam Pancasila akan dapat diwujudkan; karena itulah Sukarno dengan konsisten mengusung gagasan persatuan.

 

Namun demikian, rupanya komitmen yang kuat dari Sukarno ini telah disalahartikan (dengan sengaja). Setelah terjadinya peristiwa di malam 30 September dan pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dengan cepat mengevaluasi apa yang telah terjadi. Pada Sidang Kabinet 9 Oktober 1965 Sukarno menganjurkan penyebutan Gerakan Satu Oktober (Gestok) sebagai akronim untuk menggantikan istilah G-30-S atau Gestapu yang digunakan oleh Soeharto. Istilah Gestok dalam kenyataan memang lebih tepat untuk digunakan, karena penculikan para Jenderal Angkatan Darat sebenarnya memang terjadi pada pagi hari tanggal 1 Oktober. Gestok sebagai istilah tidak pernah secara luas digunakan selama masa rezim Soeharto dan bahkan sampai periode reformasi. Di dalam istilah Gestok terkandung semangat Sukarno untuk tetap mempertahankan persatuan bangsa Indonesia dan menghindari perpecahan.

Dengan mengacu pada penamaan yang ada dalam istilah Gestok, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pembumian Pancasila mengadakan Diskusi Kebangsaan yang bertujuan untuk melakukan refleksi dan pemaknaan yang kritis terhadap Gestok, baik dalam konteks diksi, maupun substansi. Diharapkan dengan adanya pemaknaan yang tepat terhadap Gestok, berbagai stigma yang selama ini telah memecah belah bangsa dan mendiskreditkan peran kesejarahan Sukarno dapat diluruskan. Melalui kegiatan diskusi ini diupayakan suatu pemahaman yang jernih tentang apa yang sebenarnya terjadi di tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965.

Penjernihan atau pelurusan sejarah terhadap peristiwa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 30 September dan 1 Oktober terutama terkait dengan adanya Keppres No.153/1967. Berdasarkan Keppres ini, tanggal 1 Oktober dinyatakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Perlu ada satu ketegasan dari pemangku kepentingan bangsa bahwa apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober secara substantif bukanlah representasi dari Kesaktian Pancasila. Adanya peringatan Kesaktian Pancasila selama masa pemerintahan Orde Soeharto digunakan untuk delegitimasi terhadap Hari Kelahiran Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni 1945. Sebagaimana tercantum dalam dokumen notulen Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada hari itu Sukarno berpidato selama satu jam menyampaikan untuk pertama kali apa yang kita kenal sebagai Pancasila. Selama periode Orde Soeharto, Peringatan 1 Juni tidak pernah dilakukan dan sebagai gantinya yang diperingati adalah 1 Oktober. Sudah tiba saatnya sebagai bangsa kita mengambil sikap tegas untuk mencabut Keppres No.153/1967 karena substansi dari Keppres ini tidak sesuai dengan sejarah perjalanan bangsa dan sarat dengan pengkhianatan bangsa.

Akhirnya perlu kita sadari bersama bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Sukarno, munculnya Gestok disebabkan oleh tiga hal, yakni, keblingeran pimpinan
PKI, subversi nekolim atau unsur asing, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.

Diskusi Publik VIII diikuti oleh peserta terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat GPP, Dewan Pimpinan Daerah GPP, Pemerhati Pancasila, sejarah, dan kebangsaan, serta para pemuda, pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Diskusi diadakan pada Hari Sabtu 1 Oktober 2022 (14.00-17.00) melalui metode hybrid: offline di Gedung Juang 45 Semarang, Jawa tengah dan online melalui platform Zoom.
Semarang, 1 Oktober 2022
SALAM PANCASILA!!!
MERDEKA!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *