Diskusi Publik VII : Pulihkan Nama Baik Sukarno Bapak Bangsa untuk Indonesia yang Lebih Beradab dan Bermartabat

Jakarta , gppnews.id – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pembumian Pancasila menggelar diskusi ke VII dalam rangka merayakan HUT Kemerdekaan RI ke- 77 tahun yang dilaksanakan di Hotel Acacia, Jakarta 14 Agustus 2022.
Tema Diskusi dipertajam dalam Sub Tema
“Pembebasan Sukarno dari Jerat TAP MPRS XXXIII/MPRS 1967 Menuju Upaya Terbitnya TAP MPR RI Tentang Sukarno Bapak Bapak Bangsa”

 

Hadir sebagai Narasumber, Prof. Dr.Arief Hidayat, SH, MS dan Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si serta Penanggap Dr. I Dewa Gede Palguna, SH, M.Hum dan Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum, dimoderatori oleh Dr. Wilma Silalahi, SH, M.H. Diskusi publik ini diikuti oleh ratusan peserta baik secara luring maupun daring.

 

Dr. Antonius D.R Manurung sebagai dalam paparannya mengatakan “Hari ini adalah hari yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa, karena masih ada organisasi yang peduli membahas tentang Pemulihan Nama Baik Sukarno sebagai Bapak Bangsa.
Mengapa harus kita pulihkan? Alasan mendasar adalah: Sukarno telah memberikan legacy yang sangat berharga dan bermakna buat bangsa Indonesia. Bung Karno sebagai Putra Sang Fajar, Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Marhaenisme, Penggali Pancasila, Founding Father telah melahirkan ajaran dan pemikiran yang sangat menentukan Kemerdekaan Indonesia. Tanpa Marhaenisme tidak mungkin ada Pancasila, karena Marhaenisme adalah akar historis Pancasila, tegas Dr.Anton, Ketum DPP GPP ini. Sebagai Founding Fathers bersama Bung Hatta, Bung Syahrir dan beberapa tokoh lain, Bung Karno membangkitkan kesadaran akan pentingnya Nasionalisme Kebangsaan dan Sosialisme Indonesia. Warisan yang disampaikan kepada bangsa Indonesia sudah selayaknya dirawat, dipelihara, dan dikembangkan. Siapa lagi kalau bukan kita, ujar Dr. Anton, Doktor Psikologi ini Sukarno jangan diperkecil menjadi milik satu kelompok/front tertentu. Sukarno adalah milik bangsa Indonesia.

 

 

Oleh karena itu pembelajaran tentang ajaran dan pemikiran Sukarno harusnya menjadi kebijakan negara. Untuk itu, maka terlebih dahulu perlu lahir kebijakan tentang
Pembebasan Sukarno dari Jerat TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967. Mari kita dengarkan pesan moral dari Bung karno. Kalau Jadi Hindu jangan jadi India, Kalau Jadi Muslim jangan jadi orang Arab, Kalau Jadi Kristen jangan jadi Orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Nusantara karena dengan budaya nusantara yang kaya raya ini. Ingat pesan Sukarno berikut: “Saudara-saudaraku, musuh yang terberat itu adalah rakyat sendiri; jangan mau diperbudak oleh semua itu, tetaplah bersatu padu membangun negeri ini. Hai anakku, simpan segala yang kau tau, jangan ceritakan tentang sakitku kepada orang lain, biarkan aku yang jadi korban, asal Indonesia tetap bersatu. Ini aku lakukan demi persatuan dan keutuhan bangsa. Jadikan titahku sebagai pesan bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan langsung ada di tangan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Sukarno rela berkorban hanya untuk bangsa dan negara Indonesia, rela berkorban demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sekalipun demikian besar dedikasi dan kecintaan Sukarno pada bangsa dan negara Indonesia, namun masih ada saja upaya mengkhianatinya dan memaksa terbitnya TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967, yang akhirnya membelenggu Sukarno dan.para pengikutnya secara politik.

 

Melanjutkan paparannya, Dr. Anton menyetir apa yang disampaikan Dr. Chandra Setiawan, Ketua Dewan Pakar DPP GPP dalam opening speechnya, terkait pentingnya Tap MPR RI/UU tentang Penetapan Sukarno sebagai Bapak Bangsa. Seperti kita ketahui bersama bahwa “Bab II pasal 6 yang menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya menyangkut Dr. Ir. Sukarno dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan dan menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat Presiden ternyata belum terlaksana. Asumsi mengenai tindakan hukum bung karno yang melanggar hukum tersebut, tidak dapat dipandang benar. Dan hingga saat ini hingga sukarno meninggal, tidak ada penyelesaian hukum, dibiarkan menggantung, sengaja digantung. Ingat masalah yang tidak selesai tidak akan pernah terlupakan dari catatan sejarah bangsa Indonesia, sebaliknya bahkan dapat menciptakan masalah baru, yang menyebabkan stigma dan trauma saja tapi keluarga besar bangsa Indonesia ini yang penting buat kita, Papar Dr. Anton.
Memahami TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tentunya harusnya dikaitkan dengan lahirnya TAP MPR no. I Tahun 2003.

 

Di beberapa bagian yang ada kebenaran-kebenaran yang bisa kita terima tentang peninjauan status hukum TAP MPRS XXXIII sejak tahun 1960 sampai dengan 2002. Termasuk di dalamnya TAP MPRS Tahun XXXIII, yang menurut TAP MPR no. 1 Tahun 2003 tidak perlu lagi melakukan tindak lanjut. Dibagi dalam enam kelompok ini yang menjadi penting buat kita . mari kita pahami pasal 1 dan pasal 6 Tap MPRS XXXIII 1967. Pertanyaan fundamental bagi kita semua, mengapa TAP MPRS tahun XXXIII tahun 1967 tidak masuk dalam kategori sebagai Tap MPRS/Tap MPR yang dicabut seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1?

 

Sementara, dalam pasal 6 Tap MPR No. I Tahun 2003 dinyatakan bahwa tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut atas Tap MPRS No. XXXIII Tahun 1967, baik karena sudah bersifat final, telah dicabut dengan sendirinya, maupun sudah diselesaikan dan dilaksanakan.
Menurut Dr. Anton, dalam kerangka logika bahwa ketiga alasan di atas tidak benar adanya, dan tidak sesuai dengan logika berpikir iyang benar. ni Pertama bersifat final kedua telah dicabut, telah selesai dilaksanakan. Dalam pasal 6 butir 30 tap No. 1 Tahun 2003ditegaskan sekali lagi bahwa TAP MPRS XXXIII tahun 1967 secara yuridis sudah selesai, sudah tidak ada lagi dan sudah tidak berlaku lagi. Lalu mari kita lihat satu persatu, dengan logika berpikir yang benar. Prasyarat logika berpikir yang benar kita tau ada tiga: 1) mulailah dengan mempertanyakan sesuatu, 2) berpikir panjang sebelum memutuskan sesuatu, lalu 3) mencoba berpikir secara objektif. Pasal 6 butir 30 Tap MPR 1 tahun 2003, hanya menegaskan TAP MPRS XXXIII tahun 1967 secara Yuridis sudah selesai sudah tidak ada lagi , sudah tidak berlaku lagi merupakan argumen yang benar namun sesungguhnya mengandung kesalahan dan kesesatan.

 

Adapun kesesatan berpikir dari keberadaan TAP MPRS XXXIII tahun 1967 dan TAP MPR No. I Tahun 2003. bersifat final (hitam dan putih), betulkah ?? kalau kita lihat pasal 6 MPRS Tahun XXXIII 1967 apakah betul Sukarno Sudah dinyatakan bersalah melalui proses hukum. Ternyata, kalau ini sudah dinyatakan Final konsekuensinya 32 tahun pemerintahan orde atau rezim Suharto itu inkonstitusional, jelas itu, ujar Dr. Anton.

 

Prof. Dr. Arief Hidayat dalam paparannya mengatakan “ Kita harus hati-hati betul untuk melakukan sesuatu” Mengapa saya pesan harus berhati-hati ? karena begini, kita itu disatukan oleh visi misi yang sama, disatukan oleh tujuan bernegara yang sama, apakah itu Lembaga resmi Negara, apakah itu masyarakat biasa, apakah itu keluarga yang hidup di Indonesia, apakah itu ormas, apakah itu partai politik, atau itu peran dari masing-masing orang Indonesia disatukan visi, tujuan, dan misi yang sama, yaitu yang sebagaimana terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4.

 

Untuk bisa mencapai tujuan negara itu, maka kita harus berlandaskan ideologi, dasar negara Pancasila. Tadi sudah disinggung kebersamaan persatuan gotong-royong bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada kesempatan ini mari kita membahas dan mengusulkan sesuatu dengan sangat berhati-hati . Saya sebagai orang tua berpesan sangat berhati-hati . Kenapa begitu , saya melihat begini ada satu hal kondisi yang terjadi di tingkat dunia , saya membaca berbagai literatur menemukan satu istilah yang disebut dengan VUCA kepanjangan dari Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiquity .

 

Apa itu ? keadaan dunia sekarang ini tidak hanya di Indonesia tapi di tingkat global serba ada ketidakpastian, itu yang pertama. Hal yang kedua persoalannya adalah Kompleks kita melihat satu persoalan tidak bisa fragmentalis, tidak bisa sepotong-sepotong melihat sesuatu harus secara Kompleks komprehensif . Kemudian yang ketiga kita melihat sesuatu penuh dengan ketidakpastian, perubahan yang serba cepat ketidakpastian kompleksitasnya sangat tinggi sangat rumit dan yang keempat serba kabur serba samar. Makanya saya mengatakan harus hati-hati melihat persoalan tema ini. VUCA itu suatu ilmu yang ditemukan oleh kalangan militer di era masyarakat 4.0. Oleh karena itu, hendaknya sebagai bangsa Indonesia kita harus mempunyai kompetensi dan membahas sesuatu secara cermat. Apa yang dibutuhkan, yang pertama yaitu adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang rumit itu, kemudian yang kedua kita harus mampu berpikir bertindak kritis dan solutif, yang ketiga selalu kreatif yang keempat bersinergi dan berkolaborasi , yang ke enam berpikir dan bersikap positif , yang ke-6 kecerdasan emosional mampu mengelola hati dan pikiran diri kita sendiri , kelompok kita sendiri. Ketujuh mampu tepat menilai mengambil keputusan, dan ke-8 berorientasi pada pelayanan yang optimal kepada masyarakat, dan yang terakhir mudah beradaptasi fleksibel dan luwes. Itu pesan-pesan yang harus kita punyai, baik sebagai diri sendiri, kelompok maupun sebagai bangsa.

 

Kalau kita mengambil keputusan secara emosional dan melakukan sesuatu menyelesaikan secara fragmentalis, maka bisa merugikan diri sendiri, merugikan bangsa ini, karena akibat bertindak untuk berkolaborasi, bersinergi dan macam-macam yang sudah disebutkan.

Kemudian masuk pada Tema hari ini saya berpendapat begini “ Ternyata kegelisahan yang terjadi di kelompok ini, kegelisahan yang terjadi atau yang dialami oleh GPP ternyata sama. Ada kegelisahan Bung Karno Proklamator ,Bung Karno the founding fathers yang sangat menonjol, dizolimi oleh suatu rezim. Pernah dizolimi oleh suatu rezim. Kalau kita bayangkan Bung Karno pada itu melawan, Bung Karno masih punya kekuatan, tapi Bung Karno mengatakan yang sakit itu biarlah saya. Saya pendam untuk saya saja. Tapi orang-orang yang ada di belakang Sukarno harus mengetahui itu. Itu pesan persatuan yang sungguh luar biasa .

 

Oleh karena itu, sekali lagi mari kita berkolaborasi bersinergi bersama-sama dengan komponen-komponen bangsa yang ada di Indonesia ini bagaimana kita bersinergi dengan tujuan dengan visi misi yang sama. Bahayanya itu di era yang saya sebut masyarakat 4.0 kita sudah melangkah ke masyarakat 5.0, itu bahayanya luar biasa. Jokowi Kemarin pidato bangsa-bangsa yang ada di dunia pada Tahun 2022 ini semuanya serba stagnan, semuanya serba minus, pertumbuhannya dan lain-lain tapi berdasarkan informasi dari PBB, IMF dan negara yang ada di dunia ada puluhan negara yang akan bangkrut ekonominya , sehingga tahun 2023 nanti dunia secara global akan mengalami ‘kegelapan’. Oleh karena itu, dengan kondisi yang demikian kita mempunyai kegelisahan yang sama untuk menuntaskan persoalan yang dialami oleh Bapak ideologis kita, Bung Karno.

 

Tapi apa yang harus kita lakukan itu yang harus menjadi pemikiran bersama. Kita harus berpikir secara komprehensif , berpikir solutif untuk kepentingan bangsa Indonesia di masa depan sekaligus melakukan sesuatu usaha agar guru kita secara ideologis terhindar dari jeratan TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967. Hal kedua kalau membaca tema diskusi publik ini, maka kita akan bisa melakukan sesuatu yang sangat baik. Sistem ketatanegaraan kita sudah berubah selama dua puluh tahun lebih, di era reformasi , sistem yang tadinya supremasi ada di tangan MPR, sekarang supremasi ada pada Undang-Undang Dasar 45. Sistem ketatanegaraan, sistem politiknya sudah berubah, MPR sudah tidak diberi kewenangan untuk membuat ketetapan. Menurut pasal 1 UUD yang setelah diamandemen, MPR hanya berwenang untuk mengubah undang-undang dasar dan kedua melantik presiden dan wakil presiden.

 

Sehingga kalau kita lihat kita menghendaki ada ketetapan MPR sistem politik sekarang sistem ketatanegaraan sudah tidak bisa. Karena MPR sudah bukan merupakan lembaga tertinggi negara. Hal yang super di republik ini adalah Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Apakah kita ada usulan untuk kembali ke UUD 1945?, kalau itu memang kesepakatan kembali ke UUD 1945 tidak ada masalah, sehingga kemudian MK juga di tiadakan. Kalau bagi saya tidak ada masalah, saya bisa kembali ke UNDIP jadi guru Besar untuk mengajar. Ada hal-hal yang harus kita pikirkan secara komprehensif. Hal yang kita pikirkan secara komprehensif. Caranya bagaimana saya punya skema jalan yang bisa kita tempuh bersama-sama. Jadi itu tadi menyelesaikan solutif, kreatif tanpa melupakan sinergi dengan lembaga-lembaga lain, tutur Prof Arief.

 

Kedua narasumber sepakat untuk memperjuangkan terbitnya UU tentang Sukarno Bapak Bangsa (LK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *