Vaksinasi Pancasila Dalam Perspektif Psikologi
VAKSINASI PANCASILA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI:
UPAYA MENCEGAH, MENANGKAL, DAN MENGATASI
KOMPLEKSITAS PERMASALAHAN KORUPSI DI INDONESIA*)
Dr. Antonius Dieben Robinson Manurung, M.Si.
Ketua Umum DPP Gerakan Pembumian Pancasila
Pemerhati Korupsi
Jakarta, gppnews. id- Indonesia merupakan negara yang sedang berada ‘di persimpangan jalan’ dalam hal KORUPSI. Situasi ‘di persimpangan jalan’ mengandung makna ganda, di jalan yang benar atau salah. Jika berada di jalan yang salah dan tidak segera disadari maka bangsa yang baru saja merayakan 77 tahun kelahiran Pancasila dan sebentar lagi akan merayakan 77 tahun HUT Kemerdekaannya akan tersesat. Untuk kembali ke jalan yang benar maka harus dicari jalan keluar.
Sebelum memutuskan dan memilih jalan keluar bijaksana, dipandang perlu melihat sebentar Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sejak 2004 – 2020 berdasarkan Grafik 1 berikut.
Sumber : Transparency International (2021)
Catatan kritis:
– 2019 : Indonesia berada di posisi 86 dari 180 negara dengan indeks 40
– 2020 : Indonesia berada di posisi 112 dari 180 negara dengan indeks 37
– 2021 : Indonesia berada di posisi 96 dari 180 negara dengan indeks 38
– 2022 : ???
Grafik 1 di atas menunjukkan bahwa dalam hal korupsi, Indonesia bukan hanya berada di persimpangan jalan, tetapi juga sedang berada dalam masalah serius. Korupsi merupakan praktik deideologisasi Pancasila dan menjadi musuh utama yang harus dilawan oleh masyarakat bangsa yang hidup dan menghidupi Tanah Air Suci (Terra Sancta) Indonesia. Cita-cita negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan tiga kerangka revolusi Indonesia yang dicita-citakan Bung Karno (Proklamasi Kemerdekaan, Masyarakat Sosialisme Indonesia, dan Membangun Tata Dunia Baru) tidak akan terwujud bila korupsi belum teratasi. Ingat apa yang pernah dikatakan Peter Drucker bahwa sesungguhnya tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah negara yang salah kelola; tepat bila merefleksikan apa yang terjadi di Indonesia, terutama dalam memperingati bulan Bung Karno. Salah kelola negeri ini dengan adanya korupsi, dimana pemimpin yang harusnya mengelola sumber daya negeri ini untuk memajukan kesejahteraan umum (Bonum Commune), malah mengkorup kekuasan dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya, akhirnya kepentingan masyarakat yang terlukai dengan bertumbuhnya oligarki yang menghisap dan menindas (eksploitatif) dan matinya demokrasi Pancasila, tingkat ketimpangan agregat melalu indeks gini rasio yang buruk, kemiskinan, pengangguran, kesenjangan pertumbuhan pusat dan daerah, dan lain-lain.
Saudara sebangsa dan setanah air, sekandung seideologi…. Adalah hal yang sangat tepat untuk menegaskan kembali bahwa praktik korupsi merupakan manifestasi deideologisasi Pancasila. Oleh karenanya menjadi bijaksana bila lewat forum yang luar biasa ini kita membangun kesepakatan moral bahwa diperlukan Vaksinasi Pancasila untuk cegah-tangkal-atasi kompleksitas permasalahan korupsi di Indonesia. Berbicara tentang vaksinasi Pancasila menstimulir masyarakat bangsa harus memahami Marhaenisme sebagai Akar Historis Pancasila. Dengan memahami teori dan praktik perjuangan Marhaenisme sebagai akar historis Pancasila berarti menempatkan sosio-nasionalisme sebagai dasar sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme mengandung pengertian bahwa nasionalisme politik perlu dibangun terlebih dahulu sebelum nasionalisme ekonomi; lalu, selanjutnya demokrasi politik dibangun sebagai landasan demokrasi ekonomi (Manurung & Kanumoyoso, 2021). Pertanyaan reflektif dan evaluatif untuk kita semua: “Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi telah menjadi praktik dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara ? Bila sudah, tentunya Indonesia sudah mengarah pada zero corruption, memastikan independensi lembaga otoritas antikorupsi tetap berjalan dan para pembuat kebijakan menghindari penyalahgunaan lembaga antikorupsi sebagai alat viktimisasi politik.
Dalam kesempatan ini, lebih jauh saya berkeinginan menguraikan Vaksinasi Pancasila dalam perspektif psikologi kebangsaan. Dalam analisis saya, masalah dan solusi yang terkait dengan korupsi sarat dengan nilai-nilai luhur Pancasila, yang dapat dipahami melalui perspektif psikologi, meliputi hal-hal berikut ini :
1) Masalah dan Solusi terkait dengan Budaya Organisasi dalam Piramida Kebangsaan dan Kenegaraan (Schein, 2017)
a) Basic Underlying Assumtion (asumsi yang mendasari/nilai keutamaan) kelahiran bangsa dan negara Indonesia, tercermin dalam cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia: “membangun masyarakat Sosialisme Indonesia tanpa eksploitasi manusia atas manusia; tanpa eksploitasi bangsa atas bangsa”. Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, dan spiritualitas bangsa (Manurung & Kanumoyoso, 2021) hampir kehilangan roh dalam tata kehidupan kebangsaan dan kenegaraan pada saat ini. Mengapa demikian ? Pancasila belum dijadikan sebagai nilai keutamaan (philosophische grondslag, weltanscauung, dan staat fundamental norm) dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kalau pokok pertama dari budaya organisasi bangsa ini belum menjadi nilai keutamaan inti, maka laku hidup kebangsaan dan kenegaraan akan mengalami kemerosotan-kebangkrutan dalam sisi moralitas. Salah satu kemerosotan=kebangkrutan moral yang nyata-nyata dapat dilihat adalah perilaku korupsi yang sudah mengakar dan membudaya. Para pelaku korupsi (koruptor) adalah individu-individu yang telah mengingkari keberadaan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, dan spiritualitas bangsa. Pertanyaan reflektif untuk kita semua : Apakah kita, sebagai bangsa sepakat untuk menyatakan bahwa para pelaku korupsi adalah individu-individu yang a-Pancasilais, yang telah melakukan kejahatan luar biasa?. Bila sepakat, mari kita mengkampanyekan secara progresif, “PERANG MELAWAN KORUPSI”.
b) Espoused Values (Nilai inti). Nilai yang menjadi karakter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu TRISAKTI: “Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian di Bidang Kebudayaan”. TRISAKTI menjadi nilai inti/pedoman dalam mewujudkan amanat penderitaan rakyat, yang mendorong seluruh perilaku kita sebagai bangsa mengarah pada semangat gotong royong, “sama rasa sama bahagia”. Perilaku korupsi tentunya telah mengingkari semangat gotong royong sebagai nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh para leluhur, karena di dalamnya sudah tidak ada lagi prinsip kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan/ keadilan sosial, dan ketuhanan.
Artifact (Manifestasi) : terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Manifestasi dari asumsi dasar dan nilai-nilai inti adalah masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, masyarakat Sosialisme Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, dan berkemakmuran tanpa penghisapan dan penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Apakah mungkin, bila korupsi masih membudaya, Indonesia bisa berkembang menjadi negara maju dengan bangsa yang berdiam di dalamnya merasakan hidup bahagia dan sejahtera. Itulah sebabnya mengapa budaya organisasi perlu diangkat dalam mengeksplorasi permasalahan korupsi di Indonesia dan mengelaborasi solusi adaptif terhadapnya. KPK, Perguruan Tinggi, Lembaga Anti-Korupsi, dan Pemerhati Korupsi dalam kiprahnya harus memperhatikan budaya organisasi, bangunan kebangsaan dan kenegaraan sebagai akar masalah muncul dan mengakarnya korupsi di Indonesia. KPK, Perguruan Tinggi, Lembaga Anti-Korupsi, dan Pemerhati Korupsi harus menjadi pelopor dan jembatan dalam membangun budaya anti korupsi dengan pendekatan progresif-revolusioner. Selain itu, Presiden harus memiliki strong political will dan menggunakan hak prerogatif sebagai Kepala Negara dengan kebijakan “Indonesia menuju zero corruption” dan mengkampanyekan bahwa KORUPSI MERUPAKAN MANIFESTASI DEIDEOLOGISASI PANCASILA DAN BAHAYA LATEN YANG HARUS DIBUMIHANGUSKAN.
2) Masalah Kepemimpinan dan Pengembangan Modal Manusia (Human Capital): Kepemimpinan dan pengembangan modal manusia Bernapaskan Pancasila bagi lembaga legislatif, eksekutif, judikatif merupakan hal substantif yang perlu diperhatikan karena memberikan dampak atau pengaruh positif terhadap upaya pemberantasan korupsi. Demikian halnya kepemimpinan dan pengembangan modal manusia (human capital) menjadi semakin penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Kondisi ini “memaksa” KPK untuk mampu membangun kepemimpinan dan modal manusia yang bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan dimaksud. Tentunya perlu dipahami bahwa koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pencegahan, dan monitoring dapat berfungsi efektif bila KPK kompeten dan talents dalam menangani tugas-tugasnya. Kompeten berarti memiliki pengetahuan, keahlian, dan kemampuan, sikap dan perilaku yang benar. Sementara, talents berarti menggambarkan tim yang sungguh-sungguh menghayati dan menjadikan tugas-tugas pengabdian pada bangsa dan negara sebagai panggilan.
3) Masalah Psikologi pada umumnya : mencakup persepsi, locus of control, kepribadian, motivasi, dan terkait lainnya. Hal yang berkembang selama ini yang menjadi faktor penyulit dalam mengatasi kompleksitas masalah korupsi adalah :
a) Persepsi : terkait dengan kecenderungan munculnya sikap permisif dalam mempersepsikan korupsi. Sikap permisif bagi individu bisa mempercepat berkembangnya perilaku korupsi. Ada kecenderungan bawahan membiarkan perilaku korupsi yang dilakukan oleh atasan atau rekan kerja/tim kerjanya. Selain itu, menurut amatan saya, sikap konformitas yang kuat dalam budaya kerja di hampir seluruh instansi, baik di lingkup Aparatur Sipil Negara/PNS maupun Swasta bisa memperkuat perilaku korupsi.
b) Locus of Control Internal (LoC-Int). LoC-Int yang rendah menggambarkan seseorang yang memiliki kendali atas sikap dan perilakunya cukup lemah. Individu tersebut cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya, misalnya : kebutuhan untuk hidup dengan mengikuti pola hidup hedonis, tekanan dari atasan atau rekan/tim kerja, bahkan sampai dengan sikap merasionalisasikan banyak hal untuk membenarkan perilaku korupsi. Korupsi yang semakin merajalela tentunya bisa dipengaruhi oleh rendah/ lemahnya LoC-Int.
c) Kepribadian : “The Big Five Personality”. Individu yang memiliki tingkat neuroticm yang tinggi dan ekstraversi yang rendah bisa menjadi faktor penguat berlangsungnya perilaku korupsi. Demikian sebaliknya, individu dengan neuroticm yang rendah dan ekstraversi yang tinggi bisa menjadi faktor melemahkan perilaku untuk korupsi.
d) Motivasi : Motivasi McClelland menjelaskan ada 3 (tiga) kebutuhan yang mendorong motivasi, yaitu : motivasi berprestasi (need of achievement), motivasi berkuasa (need of power), dan motivasi berafiliasi (need of affiliation). Motivasi berprestasi dan motivasi berkuasa yang tinggi dari seseorang bisa menjadi faktor yang menguatkan terjadi dan berkembang perilaku korupsi. Namun, individu dengan motivasi afiliasi yang tinggi bisa melemahkan keinginan untuk korupsi.
Pada akhirnya, perlu semakin disadari bahwa korupsi dan koruptor sikap A-PANCASILAIS, terutama menjadi musuh utama kaum marhaen, kaum miskin, tertindas, dan tereksploitasi. Budaya korupsi harus dilawan lewat revolusi mental oleh seluruh kekuatan elemen bangsa. Indonesia harus bangkit; vaksinasi Pancasila harus dijalankan secara progresif-revolusioner. Ingat, “Revolusi belum selesai”, terutama melawan dengan penuh gegap-gempita para pelaku korupsi dimanapun, mari kita hancurkan korupsi sampai ke akar-akarnya. Hasil jarahan para koruptor harus dikembalikan ke negara dan negara wajib mengelola pengembalian uang rampasan para koruptor dan selanjutnya diperuntukkan bagi keluarga miskin, para pengangguran, dan pendidikan anak-anak miskin di Indonesia.
Dengan demikian, kita masih bisa melihat senyum bahagia si miskin dan kaum tertindas yang selama ini mengalami penderitaan tiada henti di Tanah Air Suci (Terra Sancta) Indonesia yang kaya raya ini. Kita juga bangga, ketika anak-anak INDONESIA sejak usia dini sadar, mau, dan berani mengkampanyekan INDONESIA BEBAS KORUPSI DEMI MASA DEPAN ANAK-ANAK INDONESIA, DEMI TERWUJUDNYA INDONESIA 2045.
Jakarta, Sabtu, 11 Juni 2022
Salam Pancasila!!!
Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si.
*) Makalah disampaikan dalam Webinar Nasional Pancasila Ideologi Anti-Korupsi, kerjasama Asosiasi Dosen Pendidikan Antikorupsi Indonesia dan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Pembumian Pancasila
Referensi :
Manurung, A,D.,R. & Kanumoyoso, B. (2021). Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, dan spiritualitas bangsa. Bekasi: Maxima.
Schein, E. H., & Schein, P. (2017).Organizational culture and leadership.5thEdition.New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Transparency International (2021). Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia 2004 – 2020.