Dr. Antonius D. R Manurung : Marhaenisme sebagai Akar Historis Pancasila

Jakarta,gppnews.id- DPP Gerakan Pembumian Pancasila suskses menggelar Diskursus Pancasila angkatan ke-V Serial ke empat dengan topik historisitas Marhaenisme, akar kesejarahan Pancasila. Tujuan mendalami serial ini adalah untuk membantu para peserta memahami, meyakini, dan mampu memanifestasikan Marhaenisme sebagai akar ideologi Pancasila melalui Metode Materialisme-Historis sebagai “Pisau Analisa dengan mendasarkan pada realitas objektif kompleksitas permasalahan bangsa menuju terwujudnya cita-cita Sosialisme Indonesia:sebuah masyarakat bangsa tanpa penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa.
Refleksi pengantar disampaikan oleh Dr. Bondan Kanumoyoso, M.Hum, yang juga Sekjen DPP GPP. Bondan mengatakan bahwa serial ini sangat penting karena menjadi inti munculnya Pancasila sebagai ideologi. Bondan mengutip kata-kata Sukarno dalam pleidoi Indonesia menggugat pada tanggal 18 Agustus 1930, yang tertulis demikian: “Pergerakan Indonesia haruslah suatu pergerakan yang mencari tenaganya di dalam kalangan Kang Kromo dan Kang Marhaen saja, oleh karena Indonesia hampir melulu mempunyai Kaum Kromo dan Kaum Marhaen belaka; di dalam tangan Kaum Kromo dan Kaum Marhaen itulah terutama letaknya nasib Indonesia, di dalam organisasi Kaum Kromo dan Kaum Marhaen itu terutama harus dicari tenaganya.”
Lebih lanjut Bondan mengatakan bahwa kita tidak dapat berbicara Pancasila kalau tidak berbicara tentang Marhaenisme karena akar sejarah Pancasila ada di dalam Marhaenisme.
Narasumber dalam serial ini adalah Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si yang juga Ketua Umum DPP GPP. Menurutnya, Gagasan Marhaenisme lahir dari percakapan Sukarno dengan seorang petani di Desa Kiduleun, Cigereleng, Bandung Selatan sekitar tahun 1926. Marhaenisme telah dilahirkan pada tahun 1927 dan dikembangkan antara 1930-1933. Dalam konteks sejarah, Marhaenisme merupakan konstruksi pemikiran Sukarno yang dihasilkan dari sebuah perenungan panjang, lama, dan mendalam dalam analisa kritis berdasarkan pemikiran historis-materialisme terhadap perkembangan masyarakat bangsa yang hidup dalam wilayah geo-politik (Hindia- Belanda).
“Ideologi Marhaenisme membangunkan kesadaran pentingnya perjuangan bagi golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem yang menindas dan menghisap: sistem kolonialisme, imperialisme, feodalisme, kapitalisme. Marhaenisme membebaskan keterbelengguan bangsa Indonesia dari segala bentuk dan manifestasi zonder exploitation de l‘homme par l‘homme’ and ‘exploitation de nation par nation “ ujar Doktor Psikologi yang sehari-harinya menjadi tenaga pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Jakarta ini.
Lebih lanjut Dr. Antonius Manurung, MSi, mengatakan bahwa Marhaenisme adalah pemikiran murni, dicetuskan oleh Bung Karno dan berangkat dari kebutuhan hidup manusia yang paling fundamental, substansial dan bersifat universal, yaitu tuntutan budi nurani manusia (the social conscience of man), yang menghendaki terwujudnya kesejahteraan hidup manusia yang hanya dapat terpenuhi apabila telah tercipta harmonisasi antara kemerdekaan individu dan keadilan sosial.
Ketum DPP GPP ini juga mengatakan, dengan menggunakan historis-materialisme sebagai pisau analisa, Bung Karno menemukan bahwa rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah petani kecil, hidup menderita karena ditindas oleh sistem yang mengeksploitasi, yaitu kolonialisme/ imperialisme bangsa asing yang merupakan anak kapitalisme, ditambah dengan feodalisme bangsa Indonesia sendiri. Materialisme historis menurut Sukarno dapat digunakan sebagai metode berpikir untuk menganalisis kehidupan sosial di Indonesia, terutama bila dihadapkan dengan penindasan dan penghisapan.
Menurutnya, Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan khas Indonesia memiliki tiga karakter inti yang dibedakan atas: Marhaen, sebagai kaum tertindas yang terbelenggu oleh sistem yang eksploitatif; Marhaenis, kaum yang membela dan memperjuangkan kaum Marhaen agar bebas dari segala bentuk dan manifestasi penindasan dan penghisapan; dan Marhaenisme, ideologi pembebasan kaum Marhaen/tertindas menuju masyarakat Sosialisme Indonesia, yang berkeadilan dan berkemakmuran.
“Perbedaan Marhaenisme dan Marxisme pada dasarnya dapat dipahami dari hal-hal seperti: tidak memandang istilah borjuis dan proletar karena pada waktu itu situasi Indonesia sama, yaitu sama-sama menderita akibat kolonialisme Belanda. Selain itu juga fokus perjuangan Marxisme hanya melawan kapitalisme, sedangkan Marhaenisme berjuang untuk membebaskan diri dari kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan segala bentuk penindasan/penghisapan’. Ujar Doktor Psikologi ini.
Dalam refleksi penutup yang dibawakan oleh Dr. Gunawan Djayaputra, S.H., S.S., menegaskan bahwa Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam praktik, sebuah antitesis dari realitas objektif bangsa Indonesia yang termanifestasikan dalam bentuk praktik-praktik kolonialisme-imperialisme, dengan penuh keserakahan menguras tenaga rakyat dan kekayaan Indonesia, menindas dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
“Mari kita bersama sama mewujudkan semangat hidup Sukarno yang ingin mendirikan satu negara semua buat semua, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya; tetapi kita mendirikan negara semua buat semua” ungkap Bendahara Umum DPP GPP ini. Serial 4 DISPAN V yang dimoderatori Hendrikus Clement berakhir pada pukul 16.00 dengan antusiasme yang begitu kuat dalam diri para peserta (TD).