Diskursus Pancasila Serial Ketiga : Manifestasi Pancasila sebagai Dasar Negara
Jakarta,gppnews.id– Serial ketiga Diskursus Pancasila angkatan kelima ini mengambil topik, “Manifestasi Pancasila menjadi Dasar Negara”
Dalam refleksi pengantarnya Ketua Umum GPP DPP Dr. Antonius D.R. Manurung, M.Si, menggarisbawahi bahwa bicara Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya bicara atas tiga hal. Pertama, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Ketika perundangan-undangan ditengarai bertentangan dengan Pancasila, maka menjadi indikasi bahwa para pembuat Undang-Undang belum mempraktekan nilai-nilai Pancasila.
Kedua, Pancasila sebagai philosophische grondslag (filsafat negara). Pancasila sebagai falsafah negara merupakan satu kesatuan sila yang saling berhubungan, bekerja sama, saling mengkualifikasi, dan berkaitan dengan sila lainnya guna mencapai tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Ketiga, Pancasila sebagai weltanschauung merupakan kristalisasi dan sublimasi nilai-nilai luhur peradaban Nusantara. Lebih lanjut Anton Manurung menjelaskan bahwa Pancasila memiliki akar yang kuat dalam sejarah peradaban Nusantara dan perjuangan bangsa Indonesia yang melampaui sekat-sekat subjektivitas dari sebuah peradaban dari waktu ke waktu.
Berdasarkan TOR, intensi dari serial ini adalah memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang proses kesejarahan, terutama terkait dengan jawaban atas pertanyaan: “bagaimana manifestasi Pancasila menjadi Dasar Negara”, Apakah penyelenggaraan ketatanegaraan telah berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan menjadi jiwa dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Narasumber serial ini adalah Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D, yang juga Ketua Dewan Pakar DPP Gerakan Pembumian Pancasila.
Dalam paparannya Chandra Setiawan mengatakan, apapun yang dirumuskan secara ideal dalam konstitusi, apabila tidak berada di atas landasan etika moralitas yang kuat, maka tidaklah dengan sendirinya dapat dibumikan dalam realitas bahwa negara berfungsi dengan efektif dan tidak melakukan pembiaran. Menurut Notonagoro (1974), seperti dikutip Yudi Latif (2020:364).
“Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dari penyelenggara negara. Ketaatan tersebut mencakup hal-hal berikut: Pertama, ketaatan hukum (legal justice). Kedua, ketaatan kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua Pancasila. Ketiga, ketaatan keagamaan, berdasarkan atas: sila pertama Pancasila; pasal 29 (1) UUD 1945; berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dalam Alinea ketiga Pembukaan UUD.
Keempat, ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat dari organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat, lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman manusia. Baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian, dan religius; lingkungan hidup sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-kultural. Kelima, pusat keteladanan dari ketaatan ini adalah semangat penyelenggara negara.” Kata Chandra Setiawan, Rektor President University 2012-2016.
Ketika sampai pada implementasi Pancasila dalam hidup bernegara, Chandra Setiawan mengungkapkan kebebasan beragama dalam perspektif HAM sesungguhnya adalah kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan yang hanya bisa dibatasi oleh UU dalam lima hal, yaitu: perlindungan atas keselamatan publik (public safety); ketertiban publik (public order); kesehatan publik (public health); moral publik (public morals) dan perlindungan hak yang asasi, dan kemerdekaan (rights and freedom of others).
“Pembatasan kebebasan beragama dan menjalankan agama atau kepercayaan dibatasi berdasarkan politik hukum pemerintah yang tidak didasarkan pada Konstitusi. UU NO.1/ PNPS/1965 jo. UU NO. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pada jaman Orde Baru ditafsirkan secara sewenang-wenang”, ujarnya.
Chandra juga mengatakan bahwa Kementerian Agama hanya melayani 5 agama, baru pada era reformasi tepatnya tahun 2006 Khonghucu dilayani kembali dan diakui sebagai agama resmi. UU ini menyebut enam agama yang dipeluk oleh pendudukan Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Confucius) berdasarkan sejarah pemeluknya di Indonesia, namun tidak berarti di Indonesia yang boleh eksis hanya 6 agama.
Permasalahannya Pemerintah tidak mau tahu yang dilayani hanya enam, padahal di Indonesia ada banyak agama di luar enam agama yang saat ini perlu dilayani, diantaranya: terdapat agama lokal, penghayat kepercayaan, agama Sikh, Shinto, Taosm, Yahudi, Zarasustrian, Baha’I, dan lain sebagainya. “Sebagai akibat tiadanya pelayanan oleh Pemerintah, hak-hak sipil mereka terabaikan, dan ini jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.” Tandas Chandra yang juga komisioner KPPU RI itu.
Chandra mengatakan, dalam bidang hukum misalnya, Pelemahan Sistem Hukum Nasional, Ekspresi kekerasan mengemuka dalam ragam bentuk seperti: kekerasan warga “tak sipil” (uncivilized) atas warga (sipil); kekerasan antar kelompok warga tak sipil (bentrokan antarsindikat); kekerasan negara atas warga; kekerasan antar-aparat negara. Berbagai ekspresi kekerasan ini tak jarang dengan kecenderungan meraih kekuasaan dengan mengoperasikan sarana-sarana pemaksaan dan kebencian (hate crime).
“Penegakan hukum kita juga tidak cukup efektif menekan praktik-praktik korupsi, UU dan Perda sering bertentangan dengan konstitusi. Untuk UU sudah cukup banyak pasal-pasalnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ada UU yang memberikan kesempatan berusaha dari hulu ke hilir, sehingga terjadi integrasi vertikal dan melemahkan UMKM”, kata Pendiri dan Chairman Global Peace Foundation Indonesia ini.
Dalam hal Keadilan social misalnya, Penguatan manifestasi nilai keadilan Pancasila bagi penegakan hukum perlu dikonkretkan dengan upaya nyata. Para pelaku penegakan hukum di era kontemporer sebagai jaman dengan berbagai isu global yang dihadapi berbagai negara harus memiliki jiwa sekaligus pelaku pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Dibutuhkan penegakan hukum terintegrasi dalam sistem hukum yang kokoh berpedoman pada Pancasila secara utuh bukan parsial guna mewujudkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. “Keadilan Pancasila”, yang mengandung makna “keadilan berketuhanan”, keadilan berkemanusiaan/humanistik”, “keadilan demokratik-nasionalistik, dan berkeadilan sosial”.
“Keadilan yang ditegakkan juga bukan keadilan formal, tetapi keadilan substansial. Terlebih dalam peradilan pidana yang lebih menekankan pada keadilan/kebenaran materiil, bukan keadilan/ kebenaran formal seperti dalam peradilan perdata. Keadilan berketuhanan, hal ini sesuai dengan bunyi irah-irah putusan hakim yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Dari kalimat tersebut terkandung pengertian mengenai pertanggungjawaban secara vertikal antara hakim dan Tuhan.” Tandasnya.
Refleksi penutup dalam diskursus serial tiga ini disampaikan oleh Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H., M.H., APU yang juga ketua OC dalam Diskursus Pancasila V ini. Dalam refleksinya Prof Jeane mengatakan bahwa kita masih terus berjuang untuk meminimalisir disparitas nilai-nilai Pancasila antara yang seharusnya dan senyatanya. Dengan demikian, kita masing-masing dipanggil untuk terlibat dalam pekerjaan besar dalam membumikan Pancasila di Nusantara ini.
Thomas Diman, selaku moderator serial 3 Diskursus Pancasila menutup rangkaian diskusi, dialog, refleksi, tanggapan kritis, dan discernment tepat pukul 16.00 Wib. (TD).